Senin, 18 Oktober 2010

Diksi. apa itu???

, dalam arti aslinya dan pertama, merujuk pada pemilihan kata dan gaya ekspresi oleh penulis atau pembicara.[rujukan?] Arti kedua, arti "diksi" yang lebih umum digambarkan dengan enunsiasi kata - seni berbicara jelas sehingga setiap kata dapat didengar dan dipahami hingga kompleksitas dan ekstrimitas terjauhnya. Arti kedua ini membicarakan pengucapan dan intonasi, daripada pemilihan kata dan gaya.

Diksi memiliki beberapa bagian; pendaftaran - kata formal atau informal dalam konteks sosial - adalah yang utama. Analisis diksi secara literal menemukan bagaimana satu kalimat menghasilkan intonasi dan karakterisasi, contohnya penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan gerakan fisik menggambarkan karakter aktif, sementara penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan pikiran menggambarkan karakter yang introspektif. Diksi juga memiliki dampak terhadap pemilihan kata dan sintaks.

MACAM-MACAM RAGAM BAHASA

1. Ragam baku adalah ragam bahasa yang oleh penuturnya dipandang sebagai ragam yang baik. Ragam ini biasa dipakai dalam kalangan terdidik, karya ilmiah, suasana resmi, atau surat resmi.
2. Ragam cakapan (ragam akrab) adalah ragam bahasa yang dipakai apabila pembicara menganggap kawan bicara sebagai sesama, lebih muda, lebih rendah statusnya atau apabila topik pembicara bersifat tidak resmi.
3. Ragam hormat adalah ragam bahasa yang dipakai apabila lawan bicara orang yang dihormati, misalnya orang tua dan atasan.
4. Ragam kasar adalah ragam bahasa yang digunakan dalam pemakaian tidak resmi di kalangan orang yang saling mengenal.
5. Ragam lisan adalah ragam bahasa yang diungkapkan melalui media lisan, terkait oleh ruang dan waktu sehinggakan kelengkapan struktur sampai pada sasaran secara visual.

UNSUR KEBAHASAAN DALAM BAHASA INDONESIA


Ada banyak unsur kebahasaan dalam bahasa Indonesia yang dapat menunjang keberhasilan proses pembelajaran di SMP/MTs. Apabila guru mampu menyelipkan atau menambahkan unsur kebahasaan tersebut ke dalam kompetensi dasar yang sesuai, maka keterampilan berbahasa siswa akan semakin tinggi.

Dalam menambahkan unsur kebahasaan ke dalam setiap kompetensi dasar hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah dan kemampuan siswa karena pada prinsipnya penambahan ini bertujuan untuk mengefektifkan proses pembelajaran dan untuk mempermudah siswa dalam penguasaan kompetensi dasar. Oleh karena itu urutan di atas hanyalah sebagai alternatif sehingga apabila sesuai dapat digunakan tetapi jika tidak sesuai tentu ada perbedaan situasi antara satu daerah dengan daerah lain dilihat dari berbagai segi.

Dari pengelompokkan tersebut, penulis akan memberikan satu contoh gambaran mengapa unsur kebahasaan harus dimasukkan ke dalam sebuah kompetensi dasar yang dianggap relevan. Pada kompetensi dasar menulis kreatif naskah drama satu babak dengan memperhatikan kaidah penulisan naskah drama, guru dapat menggunakan kalimat langsung dan kalimat tidak langsung sebagai unsur penunjang kebahasaan. Hal ini dimaksudkan agar siswa mampu menulis naskah drama dengan memperhatikan kaidah penulisan naskah drama, salah satunya adalah penggunaan kalimat langsung dialog para tokoh di dalam naskah drama. Hal ini dapat dilakukan siswa dengan baik apabila siswa telah memahami perbedaan kalimat langsung dan kalimat tidak langsung, siswa telah memahami cara penempatan tanda baca yang tepat. Tetapi apabila siswa telah mampu dengan baik membedakan kalimat langsung dan tidak langsung, maka unsur penunjang yang dapat dimasukkan ke dalam kompetensi dasar ini adalah penggunaan kata baku dan kata tidak baku dalam naskah drama, karena bahasa pengantar dalam naskah drama harus menggunakan bahasa baku, sedangkan di dalam dialog, seorang tokoh dapat menggunakan katakata yang tidak baku. Jadi unsur kebahasaan yang bisa dimasukkan tentunya disesuaikan dengan kemampuan dasar atau intake siswa.

Kesalahan unsur kebahasaan yang sering dilakukan siswa adalah kesalahan penggunaan unsur kebahasaan dalam kegiatan praktik berbahasa. Oleh karena itu, guru dapat memberikan materi secara berulang-ulang dan dimasukkan ke dalam beberapa kompetensi dasar. Misalnya penggunaan tanda baca dan penulisan kata yang dirangkai atau dipisah sehubungan dengan perbedaan penggunaan awalan dan kata depan. Kesalahan penulisan ini sering dilakukan siswa. Tidak hanya siswa SMP/MTs saja, bahkan siswa SMA atau mahasiswa pun sering melakukan kesalahan serupa. Oleh karena itu setiap kegiatan berbahasa khususnya menulis selalu ditekankan kegiatan menyunting tulisan sendiri atau tulisan teman. Hal ini dimaksudkan supaya siswa mampu menulis atau berbahasa dengan baik sesuai kaidah yang berlaku. Tetapi apabila ketentuan yang berhubungan dengan tanda baca dan cara penulisan tidak dikuasai siswa atau sering dilupakan, maka yang terjadi adalah kesalahan yang berulang-ulang yang akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang sulit diperbaiki.

Sebuah kompetensi dasar tentu selalu berkaitan dengan kompetensi dasar yang lain. Menurut pemikiran banyak orang, apabila seorang siswa sudah menguasai sebuah kompetensi dasar, maka siswa tersebut siap untuk melanjutkan ke kompetensi dasar berikutnya secara berkesinambungan. Tetapi yang sering terjadi adalah siswa sering lupa dengan kompetensi yang telah dikuasainya sehingga apabila digabungkan dengan kompetensi yang lain mereka mengalami kesulitan. Satu hal yang saat ini masih melekat di hati sebagian besar siswa adalah apabila siswa telah menyelesaikan sebuah kegiatan proses pembelajaran atau satu kompetensi dasar, maka mereka merasa terbebas dari beban yang menekannya sehingga mereka mudah melupakannya. Keadaan seperti inilah yang membuat bahasa haruslah digunakan secara berkelanjutan dan dikaitkan dengan berbagai aspek kehidupan. Dan sebagai guru tentunya akan selalu mengingatkan siswa untuk selalu mengingat kompetensi yang telah dikuasai dan menerapkannya dalam kehidupan seharihari. Apabila hal ini berjalan dengan baik di seluruh wilayah Indonesia, maka semua siswa khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya akan dapat menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan situasi dan kondisi ia berada.

Perhatian lebih kepada praktik berbahasa yang selalu memperhatikan aspek kebahasaan di sekolah merupakan salah satu upaya pembenahan kesalahan-kesalahan berbahasa di masyarakat. Kegiatan ini bukan berarti menyepelekan bahasa daerah atau bahasa asing bahkan bahasa pergaulan. Berbagai bahasa hendaknya dipupuk dan dipelihara serta digunakan dalam kehidupan seharihari. Namun yang perlu ditekankan adalah kapan kita menggunakan sebuah bahasa sesuai dengan situasi dan kondisi. Pembelajaran kesadaran pemakaian bahasa yang sesuai dengan situasi dan kondisi inilah yang sampai saat ini sulit direalisasikan dalam kehidupan seharihari. Secara umum siswa dan mahasiswa bahkan masyarakat mengetahui dan memahami secara baik perbedaan bahasa baku dan bahasa tidak baku. Namun kebiasaan dan kesadaran berbahasa yang baik belum meluas. Secara umum masyarakat dianggap mampu berbahasa dengan baik apabila kedua belah pihak saling mengerti isi informasi tanpa memperhatikan efek dari praktik berbahasa tersebut.

RAGAM BAHASA INDONESIA


Bahasa adalah struktur, mencakup strukur bentuk dan makna. manusia saling berkomunikasi satu sama lain, sehingga dapat saling berbagi pengalaman dan saling belajar untuk meningkatkan intelektual. Dengan bahasa, segala ilmu pengetahuan yang diciptakan atau ditemukan manusia dapat disebarluaskan kepada orang lain, ke daerah lain untuk kepentingan kesejahteraan manusia secara umum. Kehidupan pun semakin hari semakin baik berkat penemuan-penemuan baru oleh para ilmuwan. Namun setinggi apapun sebuah penemuan, apabila tidak disebarluaskan kepada sesama manusia maka ilmu pengetahuan tersebut tidak akan bermanfaat bagi manusia lain. Selain itu, ilmu pengetahuan tersebut juga harus disampaikan dengan mengunakan bahasa yang dipahami orang lain. Oleh karena itu, apabila sebuah ilmu pengetahuan yang ditemukan oleh seorang ilmuwan, kemudian ditulis dengan menggunakan bahasa yang hanya dikuasai oleh ilmuwan tersebut, maka orang lain akan mengalami kendala dalam pemahaman ilmu pengetahuan tersebut. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan menerjemahkan buku tersebut ke dalam berbagai bahasa, khususnya ke dalam bahasa yang dipahami oleh orang yang memerlukan ilmu pengetahuan tersebut, sehingga pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dalam buku tersebut menjadi maksimal.

Selain penyampaian informasi atau ilmu pengetahuan dengan menggunakan bahasa yang dipahami oleh pemakai informasi atau pemakai ilmu pengetahuan, maka di dalam penyampaiannya harus memperhatikan struktur bahasa. Karena bahasa merupakan rangkaian kalimat dan kalimat merupakan rangkaian katakata yang disusun berdasarkan struktur bahasa yang berlaku sehingga memiliki makna. Apabila struktur bahasa yang digunakan tidak baik atau tidak sesuai kaidah bahasa yang berlaku, maka makna kalimat juga menjadi tidak jelas atau memunculkan makna ambigu. Dengan demikian akan terjadi penafsiran yang berbeda. Apabila sebuah ilmu pengetahuan telah salah ditafsirkan atau salah dalam pemahaman oleh pembaca, yang terjadi adalah kesalahan penerapan ilmu pengetahuan tersebut dalam kehidupan seharihari. Penemuan intelektual yang sebenarnya bermanfaat bagi manusia lain ternyata tidak bermanfaat karena kesalahan struktur bahasa.

Kesalahan berbahasa tidak hanya ditemukan dalam penyampaian informasi baru seperti di atas, tetapi sering ditemukan dalam kehidupan seharihari. Kesalahan pemilihan kata, penyusunan sruktur kalimat dalam berbahasa disebabkan banyak faktor. Kalau mencari kesalahan tanpa pemperhatikan pembetulannya, maka kita akan sering menyalahkan orang tetapi tidak pernah mengetahui hal yang benar, yang akhirnya kesalahan tetap berjalan. Salah satu cara memperbaiki kesalahan-kesalahan berbahasa yang terjadi dalam kehidupan seharihari adalah dengan memberi penekanan pada kegiatan berbahasa di dunia pendidikan. Kita ketahui bahwa pendidikan memuat sejumlah mata pelajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Semua mata pelajaran tersebut disampaikan dengan menggunakan bahasa. Di Indonesia, bahasa pengantar dalam dunia pendidikan mayoritas adalah bahasa Indonesia, di samping bahasa lain karena situasi menghendaki penggunaan bahasa pengantar selain bahasa Indonesia. Di dalam kehidupan seharihari, pemakai bahasa juga menggunakan bahasa yang bervariasi sesuai dengan kemampuan penutur dan lingkungan penutur berada. Di Indonesia kita menemukan banyak bahasa daerah selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara. Ragam bahasa yang bervariasi ini merupakan salah satu dari sejumlah variasi yang terdapat dalam pemakaian bahasa. Variasi ini muncul karena pemakai bahasa memerlukan alat komunikasi yang sesuai dengan situasi dan kondisi (Subarianto, 2000). Ini tidak hanya terjadi di dunia pendidikan saja tetapi di seluruh aspek kehidupan manusia.

Kridalaksana (1985) mengungkapkan bahwa bahasa mengalami perubahan sesuai dengan perubahan masyarakat. Perubahan itu berupa variasivariasi bahasa yang dipakai menurut keperluannya. Agar banyaknya variasi tidak mengurangi fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yang efisien, dalam bahasa timbul mekanisme untuk memilih variasi tertentu yang cocok untuk keperluan tertentu. Variasi itu disebut ragam standar (Subarianto, 2000). Bahasa Indonesia memang banyak ragamnya. Hal ini karena bahasa Indonesia amat luas pemakaiannya dan bermacam-macam ragam penuturnya, mau tidak mau, takluk pada hukum perubahan. Arah perubahan itu tidak selalu tak terelakkan karena kita pun dapat mengubah bahasa secara berencana (1997). Karena kita dapat merencanakan perubahan bahasa secara secara berkesinambungan seiring perubahan waktu, maka keefektifan berbahasa tentu dapat terkontrol. Artinya kebenaran dan ketidakbenaran dalam berbahasa dapat dianalisis. Kita juga dapat senantiasa mengontrol diri dalam berbahasa sehingga bahasa yang kita gunakan sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku saat ini. Perkembangan atau penambahan perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia harus sesuai dengan kaidah penyerapan bahasa. Dengan demikian tidak menutup kemungkinan dalam kurun waktu singkat, perbendaharaan bahasa Indonesia meningkat lebih banyak seiring perkembangan zaman. Kata yang masuk ke dalam bahasa Indonesia tidak hanya bahasa asing, tetapi juga bahasa daerah. Katakata tersebut penggunaannya juga dibedakan dengan penggunaan kata asing dalam bahasa Indonesia. Misalnya, semua kata asing yang digunakan dalam bahasa Indonesia harus dicetak miring atau digaris bawah sedangkan kata asing yang sudah menjadi milik bahasa Indonesia penulisannya tidak dicetak miring atau digarisbawahi.

Ragam bahasa menurut jenis pemakainya dapat dibedakan menjadi tiga: (1) ragam dari sudut pandang bidang atau pokok persoalan; (2) ragam menurut sasaran; dan (3) ragam yang mengalami gangguan pencampuran. Setiap penutur bahasa bergerak dan bergaul dengan berbagai lingkungan masyarakat dengan tata cara pergaulan yang berbeda. Oleh karena itu penutur harus mampu memilih ragam bahasa yang sesuai dengan dengan keperluannya, apapun latar belakangnya.

.

BAHASA DI SEKOLAH

Bahasa di sekolah merupakan salah satu mata pelajaran dengan nama mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia (pada KBK). Hal ini karena di dalam pelajaran ini tidak hanya unsur kebahasaan tetapi juga terdapat unsur sastra, sehingga pada kurikulum KBK terdapat nilai bahasa dan nilai sastra. Kegiatan berbahasa dan bersastra terdiri dari empat aspek, yaitu mendengar, berbicara, membaca dan menulis. Bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar karena dunia pendidikan adalah lembaga resmi atau formal yang harus menggunakan bahasa resmi. Bahasa pengantar pendidikan untuk daerah-daerah tertentu menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar untuk kelas rendah di Sekolah Dasar (SD). Tetapi untuk sekolah berkategori standar nasional atau standar internasional mereka menggunakan dua bahasa dalam proses pembelajaran (bilingual) untuk mata pelajaran tertentu. Penggunaan bahasa di lingkungan pendidikan pada prinsipnya harus disesuaikan dengan keadaan sekolah termasuk keadaan siswa dan guru sebagai pelaku utama dalam proses pembelajaran. Pemakaian bahasa di sekolah seharusnya sesuai dengan ketentuan penggunaan bahasa di lingkungan formal karena sekolah adalah lembaga formal. Penyimpangan penggunaan bahasa merupakan suatu kebijaksanaan berdasarkan situasi yang ada.

Sebagai sebuah mata pelajaran, yaitu mata pelajaran bahasa Indonesia, harus diberikan dengan berdasarkan kurikulum yang berlaku. Kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia khususnya di tingkat SMP/MTs merupakan kelanjutan kurikulum di tingkat sekolah dasar. Standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran bahasa Indonesia tingkat SMP/MTs secara umum memuat praktik kebahasaan. Dalam proses pembelajaran keberhasilan praktik berbahasa sangat ditentukan oleh unsur kebahasaan. Penguasaan kebahasaan siswa walaupun telah diperoleh ketika di sekolah dasar, namun dalam kegiatan praktik kebahasaan di SMP/MTs masih dijumpai kesalahan. Oleh karena itu unsur kebahasaan harus tetap diajarkan di tingkat SMP walaupun di dalam kurikulum tidak termuat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar.

Bagaimana caranya supaya unsur kebahasaan dapat diajarkan tanpa mengurangi kompetensi dasar atau menambah jam pelajaran sesuai waktu efektif yang telah ditentukan kurikulum? Salah satu caranya adalah dengan menyelipkan setiap unsur kebahasaan ke dalam setiap kompetensi dasar yang mempunyai keterkaitan antara keduanya. Pendistribusian unsur kebahasaan ini harus dipertimbangkan secara matang dan secara keseluruhan sehingga tidak tumpang tindih dan menyita waktu yang akhirnya akan terjadi pembengkakan waktu sebuah kompetensi dasar. Apabila hal ini terjadi, maka ketuntasan pencapaian kurikulum dalam satu semester atau satu tahun pembelajaran juga akan terhambat.

Kompetensi dasar yang terdapat di dalam kurikulum merupakan batas minimal yang harus diberikan kepada siswa. Artinya, dalam kurun waktu tertentu, seorang siswa harus menguasai sejumlah kompetensi dasar minimal yang telah ditetapkan kurikulum. Hal ini berarti, seorang guru berhak menambahkan materi pelajaran yang dapat menunjang ketercapaian sebuah kompetensi dasar. Penambahan materi pelajaran dapat dilakukan dengan cara menambahkan satu atau dua indikator yang berisi unsur kebahasaan yang menunjang kompetensi dasar tersebut.

Penambahan unsur kebahasaan ini dapat dijumpai di beberapa buku paket mata pelajaran bahasa Indonesia. Banyak buku yang menambahkan sebagai kegiatan awal sebelum memasuki kegiatan inti. Penambahan ini diharapkan dapat mempermudah siswa dalam penguasaan materi pelajaran sekaligus sebagai sarana mengingat kembali materi yang telah dipelajari siswa. Misalnya empat metode penyampaian pidato diselipkan dalam kompetensi dasar berpidato/berceramah/berkhotbah. Artinya sebelum/setelah siswa melakukan praktik berpidato, maka siswa juga harus mengetahui metode penyampaian pidato. Sedangkan penilaian kegiatan ini difokuskan pada keterampilan siswa dalam berpidato seperti kepercayaan diri/keberanian, penguasaan materi, penampilan dan ekspresi, dan vokal. Pengetahuan tentang metode berpidato sebagai materi tambahan supaya siswa mampu melaksanakan praktik berbahasa (berpidato) dengan baik..

KALIMAT MAJEMUK


Demi keefisienan, orang sering menggabungkan beberapa pernyataan ke dalam satu kalimat. Akibat penggabungan itu lahirlah struktur kalimat yang di dalamnya terdapat beberapa kalimat dasar. Struktur kalimat yang di dalamnya terdapat dua kalimat dasar atau lebih disebut kalimat majemuk. Berdasarkan hubungan antarkalimat dasar itu, kalimat majemuk dapat dibedakan ke dalam dua macam, yaitu kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat.

Kalimat Majemuk Setara

Struktur kalimat yang di dalamnya terdapat sekurang-kurangnya dua kalimat dasar dan masing-masing dapat berdiri sebagai kalimat tunggal disebut kalimat majemuk setara (koordinatif). Kalimat berikut terdiri atas dua kalimat dasar.

Saya datang, dia pergi.

Kalimat itu terdiri atas dua kalimat dasar yaitu saya datang dan dia pergi. Jika kalimat dasar pertama ditiadakan, unsur dia pergi masih dapat berdiri sendiri sebagai kalimat mandiri. Demikian pula sebaliknya. Keduanya mempunyai kedudukan yang sama. Itulah sebabnya kalimat itu disebut kalimat majemuk setara.

Kalimat Majemuk Bertingkat

Kalimat yang mengandung satu kalimat dasar yang merupakan inti (utama) dan satu atau beberapa kalimat dasar yang berfungsi sebagai pengisi salah satu unsur kalimat inti itu misalnya keterangan, subjek, atau objek dapat disebut sebagai kalimat majemuk bertingkat jika diantara kedua unsur itu digunakan konjungtor. Konjungtor inilah yang membedakan struktur kalimat majemuk bertingkat dari kalimat majemuk setara.

Pernyataan berikut menjadi kalimat majemuk bertingkat jika disisipi konjungtor misalnya ketika, karena, supaya, meskipun, jika, atau sehingga.

Saya masuk, mereka diam.

Kalimat di atas merupakan kalimat majemuk setara. Tetapi, kalimat itu berubah menjadi kalimat majemuk bertingkat dengan penempatan konjungtor ketika.

Saya masuk ketika mereka diam.

Pada kalimat majemuk setara, masing-masing kalimat penyusunnya dapat berdiri sendiri sebagai kalimat tunggal. Sebaliknya pada kalimat majemuk bertingkat, kalimat penyusun yang didahului konjungtor seperti kalimat ketika mereka diam tidak dapat berdiri sendiri. Oleh karena itu, kalimat yang memiliki konjungtor semacam ini berfungsi sebagai anak kalimat pengisi salah satu unsur kalimat inti.

Anak kalimat pengisi unsur subjek atau objek kalimat transitif ditandai oleh kata bahwa. Hal ini dapat dilihat pada contoh berikut.

Bahwa pengurus inti harus segera dibentuk sudah dibahas pada rapat kemarin.

Kalimat majemuk bertingkat juga dapat berupa kalimat tunggal yang mengalami perluasan sekurang-kurangnya pada salah satu unsurnya misalnya pada unsur keterangan, subjek atau objek. Elemen yang berperan memperluas salah satu unsur kalimat ini merupakan anak kalimat dan diawali oleh konjungtor yang atau kata penunjuk itu. Contohnya adalah anak kalimat yang menyertai nomina dan berfungsi sebagai keterangan nomina tersebut. Nomina yang dapat diberi keterangan dapat berupa nomina yang berfungsi sebagai subjek, predikat atau objek. Perhatikan contoh kalimat berikut.

Perusahaan yang ingin mengajukan kredit harus mempunyai jaminan.

Anak kalimat yang ingin mengajukan kredit merupakan anak kalimat yang memberi keterangan nomina perusahaan yang berfungsi sebagai subjek kalimat di atas

Perluasan Unsur


Unsur kalimat, seperti subjek, predikat, objek, pelengkap, atau keterangan dapat diperluas sehingga informasi tentang unsur-unsur itu menjadi lebih lengkap. Perluasan ini diartikan sebagai pengubahan unsur dasar dengan penambahan, pemindahan, ataupun peniadaan. Pada penelitian yang dilakukan, penulis hanya melakukan perluasan unsur dengan melakukan penambahan unsur-unsur kalimat. Struktur pola kalimat masih tetap sama dengan pola kalimat dasar. Sedangkan peniadaan unsur kalimat tidak dilakukan karena kalimat yang diteliti adalah kalimat tertulis dan peniadaan unsur kalimat banyak terjadi di dalam penggunaan bahasa bentuk dialog (lisan).

¨ Perluasan Nomina

Nomina, baik yang berfungsi sebagai predikat, subjek maupun objek dapat diperluas dengan penambahan kata, frasa, atau anak kalimat. Penambahan ini dapat dilakukan dengan keterangan yang memiliki konjungtor yang atau tanpa konjungtor. Contoh perluasan nomina dengan konjungtor yang terdapat pada kalimat-kalimat berikut.

a) Mahasiswa yang pandai mendapat beasiswa

b) Perusahaan yang lemah sekali akan mendapat subsidi

c) Anak yang berbakat melukis itu mendapat bantuan berupa alat-alat lukis.

Perluasan dengan yang tersebut menunjukkan keterangan yang menjelaskan nomina yang menjadi subjek. Kadang-kadang konjungtor yang itu ditiadakan.

Nomina subjek atau objek dapat diperluas dengan keterangan penjelas tetapi tidak memakai konjungtor yang. Penambahan keterangan ini dapat dilakukan dengan menjajarkan saja unsur keterangan dibelakang subjek atau objek itu. Contohnya adalah sebagai berikut.

a) Karya tulis ilmiah remaja diperlombakan setiap tahun.

b) Buku petunjuk penulisan karangan ilmiah telah beredar.

¨ Perluasan Verba

Verba pengisi predikat kalimat dapat diperluas dengan penambahan kata atau frasa. Kata atau frasa ini memberi keterangan pada predikat. Misalnya keterangan aspek atau modalitas.

Keterangan aspek ditandai oleh kata seperti telah, sedang, akan, sudah, masih, belum yang menerangkan perbuatan yang terjadi pada predikat. Contohnya terdapat pada kalimat-kalimat berikut:

a) Pertandingan itu telah usai beberapa saat yang lalu.

b) Bintang bulutangkis masih belum berpindah dari Indonesia.

Keterangan modalitas menyatakan sikap pembicara, antara lain menyatakan kemungkinan, keharusan, atau kenyataan. Keterangan ini ditandai oleh kata ingin, hendak, mau, barangkali, harus, dan pasti. Kalimat contohnya terdapat di bawah ini.

a) Saya ingin belajar bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

b) Saya harus benar-benar belajar.

Kalimat Pasif


Jika subjek suatu kalimat tidak berperan sebagai pelaku, tetapi sebagai sasaran perbuatan yang dinyatakan predikat, kalimat itu disebut kalimat pasif. Kalimat semacam ini merupakan kalimat ubahan dari kalimat aktif. Hal ini dilakukan dengan pengubahan unsur objek kalimat aktif menjadi subjek kalimat pasif. Pengubahan ini menyebabkan perubahan bentuk verba pengisi predikat, yaitu verba aktif menjadi verba pasif. Dengan demikian, kalimat pasif ini hanya terdapat dalam kalimat tipe 1 dan 2 serta tipe 3. Kalimat-kalimat tak berobjek (intransitif) tidak dapat dijadikan kalimat pasif sebelum diubah menjadi kalimat transitif.

Di samping ditandai oleh peran subjek sebagai sasaran, kalimat pasif itu ditandai pula oleh bentuk verba pengisi predikatnya. Di dalam bahasa Indonesia ada dua macam bentuk verba pasif, yaitu verba pasif berawalan di- dan verba pasif tanpa awalan di- plus pelaku.

Kalimat-kalimat aktif dapat dijadikan kalimat pasif dengan mengubah unsur objek dijadikan subjek, dan hal itu akan mengakibatkan perubahan bentuk verba predikat berawalan me- menjadi berawalan di-. Contohnya terdapat pada kalimat berikut.

Pengusaha itu meminjami ayah uang.

Kalimat aktif di atas kemudian diubah menjadi kalimat pasif :

Ayah dipinjami uang oleh pengusaha itu

Kalimat pasif yang berasal dari kalimat aktif dengan unsur pelaku pronomina persona (kata ganti orang) pertama, kedua, dan ketiga dapat juga memiliki bentuk yang berbeda dengan kalimat pasif di atas. Perbedaan ini terdapat pada predikat yang tidak berawalan di-. Verba pengisi predikat kalimat pasif ini adalah verba yang diperoleh dari verba aktif dengan menanggalkan awalan me-. Sebagai pengganti awalan di-, penanda verba pasif, digunakan pronomina persona atau nomina pelaku pada kalimat asal (kalimat aktifnya) seperti contoh ini.

Saya sudah mengirimkan lamaran ke kantor.

Kalimat aktif diatas kemudian diubah menjadi kalimat pasif dengan predikat tanpa awalan di- :

Lamaran sudah saya kirimkan ke kantor.

Bagian yang dicetak tebal di atas merupakan predikat kalimat. Pada kalimat pasif jenis ini, verba pasif tidak berupa sebuah kata, tetapi berupa gabungan dua kata, yaitu verba transitif tanpa awalan di- atau me- dan unsur pelaku yang dalam kalimat aktif berfungsi sebagai subjek.

Kalimat pasif juga dapat ditandai oleh predikat verba pasif yang berawalan ter-. Kalimat yang berpredikat veba berawalan ter- memperlihatkan bahwa subjek dikenai perbuatan yang dinyatakan oleh predikat dan mempunyai makna tidak disengaja. Contohnya terdapat pada kalimat berikut.

Kaki saya terinjak orang.

Di samping itu, kalimat pasif dalam pengertian tidak disengaja dapat juga ditandai oleh kata kena. Seperti dalam contoh berikut.

Mereka kena tipu orang .

Selain berciri verba berawalan di-, ter, dan kata kena, kalimat pasif ditandai oleh verba berimbuhan ke- -an. Verba jenis ini amat terbatas jumlahnya dan biasanya berhubungan dengan peristiwa alam, seperti kalimat berikut.

Anak-anak kehujanan sepanjang jalan.

Kalimat Aktif


Jika subjek suatu kalimat merupakan pelaku perbuatan yang dinyatakan pada predikat, kalimat itu disebut kalimat aktif. Oleh karena itu, kalimat aktif hanya terdapat pada kalimat yang predikatnya berupa verba aktif. Kalimat dasar yang termasuk kalimat aktif adalah kalimat dasar tipe 1, tipe 2, tipe 3, dan tipe 6. Kalimat aktif dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu kalimat aktif yang berobjek yang dinamakan transitif dan kalimat aktif yang tidak berobjek yang disebut intransitif.

Verba yang mengisi predikat kalimat aktif dinamakan verba aktif. Verba aktif umumnya ditandai oleh awalan me-, seperti menulis, membaca, membawa, mencatat, menyeberangi, dan melintasi.

KALIMAT TUNGGAL DAN PERUBAHANNYA


Dilihat dari unsur pembentuknya, kalimat itu dapat dibedakan atas kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Bagian ini akan membahas kalimat tunggal beserta perubahannya.

Kalimat Dasar

Jumlah kalimat yang digunakan sebagai alat komunikasi tidak terhitung banyaknya. Namun kalimat yang tidak terbatas jumlahnya itu sebenarnya dapat dikembalikan kepada struktur dasar yang jumlahnya terbatas.

Dengan peniadaan unsur keterangan—baik keterangan kalimat maupun keterangan subjek, predikat, ataupun objek—akan ditemukan kalimat dasar yang merupakan struktur yang paling pokok [Sugo97].Peniadaan itu tidak berlaku untuk unsur yang pokok. Dengan kata lain, unsur subjek, predikat, objek, serta pelengkap tetap harus ada dalam struktur dasar.

Pola Kalimat Dasar

Berdasarkan keterangan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa kalimat dasar ialah kalimat yang berisi informasi pokok dalam struktrur inti, belum mengalami perubahan. Perubahan itu dapat berupa penambahan unsur seperti penambahan keterangan kalimat ataupun keterangan subjek, predikat, objek, ataupun pelengkap. Berdasarkan ciri-ciri yang dimilikinya, kalimat dasar dapat dibedakan ke dalam delapan tipe [Sugo97].

1. Kalimat dasar berpola SPOK

Kalimat dasar ini mempunyai unsur subjek, predikat, objek, dan keterangan; subjek berupa nomina atau frasa nomina, predikat berupa verba dwitransitif, objek berupa nomina atau frasa nominal, dan keterangan berupa frasa berpreposisi.

2. Kalimat dasar berpola SPOPel

Tipe 2 itu adalah kalimat dasar yang mempunyai unsur subjek, predikat, objek, dan pelengkap; subjek berupa nomina atau frasa nominal, predikat berupa verba dwitransitif, objek berupa nomina atau frasa nominal, dan pelengkap berupa nomina atau frasa nominal.

3. Kalimat dasar berpola SPO

Tipe 3 ini mempunyai unsur subjek, predikat, dan objek; subjek berupa nomina atau frasa nominal, predikat berupa verba transitif, dan objek berupa nomina atau frasa nominal.

4. Kalimat dasar berpola SPPel

Kalimat tipe 4 mempunyai unsur subjek, predikat, dan pelengkap. Subjek berupa nomina atau frasa nominal, predikat berupa verba intransitif, kata sifat dan pelengkap berupa nomina atau adjektiva.

5. Kalimat dasar berpola SPK

Kalimat dasar ini mempunyai unsur subjek, predikat, dan harus memiliki unsur keterangan karena diperlukan oleh predikat. Subjek berupa nomina atau frasa nominal, predikat berupa verba intransitif, dan keterangan berupa frasa berpreposisi. Contohnya adalah kalimat berikut.

¨ Saya berasal dari Palembang.

6. Kalimat dasar berpola SP (P: Verba)

Tipe 6 itu adalah kalimat dasar yang mempunyai unsur subjek dan predikat. Subjek berupa nomina atau frasa nominal dan predikat berupa verba intransitif, tidak ada objek, pelengkap, ataupun keterangan yang wajib.

7. Kalimat dasar berpola SP (P: Nomina)

Tipe 7 adalah kalimat yang memiliki unsur subjek dan predikat. Subjek berupa nomina atau frasa nominal dan predikat juga berupa nomina atau frasa nominal. Nomina predikat biasanya mempunyai pengertian lebih luas daripada nomina subjek dan berupa nomina penggolong (identifikasi).

8. Kalimat dasar berpola SP (P: Adjektiva)

Kalimat ini memiliki unsur subjek dan predikat. Subjek berupa nomina atau frasa nominal dan predikat berupa adjektiva. Unsur pengisi predikat itulah yang membedakan tipe 8 dari tipe 7 dan tipe 6.

STRUKTUR KALIMAT BAHASA INDONESIA

Kalimat adalah satuan bahasa terkecil dalam wujud lisan atau tulisan yang mengungkapkan suatu pikiran yang utuh [Alwi98]. Karena itu, kalimat dapat dilihat sebagai satuan dasar dalam suatu wacana atau tulisan. Suatu wacana dapat terbentuk jika ada minimal dua buah kalimat yang letaknya berurutan dan sesuai dengan aturan-aturan wacana.

KALIMAT DAN UNSUR-UNSURNYA

Suatu pernyataan merupakan kalimat jika di dalam pernyataan itu sekurang-kurangnya terdapat predikat dan subjek, baik disertai objek, pelengkap, atau keterangan maupun tidak, bergantung kepada tipe verba predikat kalimat tersebut. Suatu untaian kata yang tidak memiliki predikat disebut frasa. Untuk menentukan predikat suatu kalimat, dapat dilakukan pemeriksaan apakah ada verba (kata kerja) dalam untaian kata itu [Sugo97]. Selain verba, predikat suatu kalimat dapat pula berupa adjektiva dan nomina.

Dalam bentuk lisan, unsur subjek dan predikat itu dipisahkan jeda yang ditandai oleh pergantian intonasi. Relasi antar kedua unsur ini dinamakan relasi predikatif, yaitu relasi yang memperlihatkan hubungan subjek dan predikat. Sebaliknya suatu unsur disebut frasa jika unsur itu terdiri dari dua kata atau lebih—tidak terdapat predikat di dalamnya—dan satu dari kata-kata itu sebagai inti serta


yang lainnya sebagai pewatas atau penjelas. Biasanya frasa itu mengisi tempat subjek, predikat, objek, pelengkap, atau keterangan. Relasi kata yang menjadi inti dan kata yang menjadi pewatas/penjelas ini dinamakan sebagai atributif. Contohnya sebagai berikut.

a) Anak kecil itu // pandai sekali.

Unsur anak kecil itu (subjek) yang menjadi intinya adalah anak karena dalam unsur itu anak tidak dapat ditiadakan dan kata itu dapat mewakili unsur subjek. Demikian juga, pandai sekali intinya adalah pandai karena kata pandai tidak dapat ditiadakan dan kata itu dapat mewakili unsur predikat. Contoh di atas merupakan kalimat karena terdapat dua unsur yang menjadi syarat dari suatu kalimat. Rangkaian kata anak kecil itu mewakili unsur subjek, sedangkan pandai sekali mewakili unsur predikat.

Jika dituliskan, kalimat diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda seru, atau tanda tanya. Dengan kata lain, untaian kata yang diawali dengan huruf kapital pada kata pertama dan diakhiri dengan tanda titik, tanda seru, atau tanda tanya adalah kalimat menurut pengertian kaidah ejaan.

Untuk mengecek apakah kalimat yang dihasilkan memenuhi syarat kaidah tata bahasa, perlu dikenal ciri-ciri subjek, predikat, objek, pelengkap dan keterangan. Kalimat yang benar harus memiliki kelengkapan unsur kalimat. Selain itu pengenalan ciri-ciri unsur kalimat ini juga berperan untuk menguraikan kalimat atas unsur-unsurnya.

Ciri-Ciri Subjek

Subjek adalah unsur pokok yang terdapat pada sebuah kalimat di samping unsur predikat. Dengan mengetahui ciri-ciri subjek secara lebih terperinci, kalimat yang dihasilkan dapat terpelihara strukturnya.

¨ Jawaban atas Pertanyaan Apa atau Siapa

Penentuan subjek dapat dilakukan dengan mencari jawaban atas pertanyaan apa atau siapa yang dinyatakan dalam suatu kalimat. Untuk subjek kalimat yang berupa manusia, biasanya digunakan kata tanya siapa.

¨ Disertai Kata Itu

Kebanyakan subjek dalam bahasa Indonesia bersifat takrif (definite). Untuk menyatakan takrif, biasanya digunakan kata itu. Subjek yang sudah takrif misalnya nama orang, nama negara, instansi, atau nama diri lain dan juga pronomina tidak disertai kata itu.

¨ Didahului Kata Bahwa

Di dalam kalimat pasif kata bahwa merupakan penanda bahwa unsur yang menyertainya adalah anak kalimat pengisi fungsi subjek. Di samping itu, kata bahwa juga merupakan penanda subjek yang berupa anak kalimat pada kalimat yang menggunakan kata adalah atau ialah.

¨ Mempunyai Keterangan Pewatas Yang

Kata yang menjadi subjek suatu kalimat dapat diberi keterangan lebih lanjut dengan menggunakan penghubung yang. Keterangan ini dinamakan keterangan pewatas.

¨ Tidak Didahului Preposisi

Subjek tidak didahului preposisi, seperti dari, dalam, di, ke, kepada, pada. Orang sering memulai kalimat dengan menggunakan kata-kata seperti itu sehingga menyebabkan kalimat-kalimat yang dihasilkan tidak bersubjek.

¨ Berupa Nomina atau Frasa Nominal

Subjek kebanyakan berupa nomina atau frasa nominal. Di samping nomina, subjek dapat berupa verba atau adjektiva, biasanya, disertai kata penunjuk itu.

Ciri-Ciri Predikat

Predikat juga merupakan unsur utama suatu kalimat di samping subjek Bagian ini khusus membicarakan ciri-ciri predikat secara lebih terperinci.

¨ Jawaban atas Pertanyaan Mengapa atau Bagaimana

Dilihat dari segi makna, bagian kalimat yang memberikan informasi atas pertanyaan mengapa atau bagaimana adalah predikat kalimat. Pertanyaan sebagai apa atau jadi apa dapat digunakan untuk menentukan predikat yang berupa nomina penggolong (identifikasi). Kata tanya berapa dapat digunakan untuk menentukan predikat yang berupa numeralia (kata bilangan) atau frasa numeralia.

¨ Kata Adalah atau Ialah

Predikat kalimat dapat berupa kata adalah atau ialah. Predikat itu terutama digunakan jika subjek kalimat berupa unsur yang panjang sehingga batas antara subjek dan pelengkap tidak jelas.

¨ Dapat Diingkarkan

Predikat dalam bahasa Indonesia mempunyai bentuk pengingkaran yang diwujudkan oleh kata tidak. Bentuk pengingkaran tidak ini digunakan untuk predikat yang berupa verba atau adjektiva. Di samping tidak sebagai penanda predikat, kata bukan juga merupakan penanda predikat yang berupa nomina atau predikat kata merupakan.

¨ Dapat Disertai Kata-kata Aspek atau Modalitas

Predikat kalimat yang berupa verba atau adjektiva dapat disertai kata-kata aspek seperti telah, sudah, sedang, belum, dan akan. Kata-kata itu terletak di depan verba atau adjektiva. Kalimat yang subjeknya berupa nomina bernyawa dapat juga disertai modalitas, kata-kata yang menyatakan sikap pembicara (subjek), seperti ingin, hendak, dan mau.

¨ Unsur Pengisi Predikat

Predikat suatu kalimat dapat berupa:

1. Kata, misalnya verba, adjektiva, atau nomina.

2. Frasa, misalnya frasa verbal, frasa adjektival, frasa nominal, frasa numeralia (bilangan).

Ciri-Ciri Objek

Unsur kalimat ini bersifat wajib dalam susunan kalimat aktif transitif yaitu kalimat yang sedikitnya mempunyai tiga unsur utama, subjek, predikat, dan objek. Predikat yang berupa verba intransitif (kebanyakan berawalan ber- atau ter-) tidak memerlukan objek, sedangkan verba transitif yang memerlukan objek kebanyakan berawalan me-. Ciri-ciri objek ini sebagai berikut.

¨ Langsung di Belakang Predikat

Objek hanya memiliki tempat di belakang predikat, tidak pernah mendahului predikat.

¨ Dapat Menjadi Subjek Kalimat Pasif

Objek yang hanya terdapat dalam kalimat aktif dapat menjadi subjek dalam kalimat pasif. Perubahan dari aktif ke pasif ditandai dengan perubahan unsur objek dalam kalimat aktif menjadi subjek dalam kalimat pasif yang disertai dengan perubahan bentuk verba predikatnya.

¨ Tidak Didahului Preposisi

Objek yang selalu menempati posisi di belakang predikat tidak didahului preposisi. Dengan kata lain, di antara predikat dan objek tidak dapat disisipkan preposisi.

¨ Didahului Kata Bahwa

Anak kalimat pengganti nomina ditandai oleh kata bahwa dan anak kalimat ini dapat menjadi unsur objek dalam kalimat transitif.

Ciri-Ciri Pelengkap

Pelengkap dan objek memiliki kesamaan. Kesamaan itu ialah kedua unsur kalimat ini :

1. Bersifat wajib ada karena melengkapi makna verba predikat kalimat.

2. Menempati posisi di belakang predikat.

3. Tidak didahului preposisi.

Perbedaannya terletak pada kalimat pasif. Pelengkap tidak menjadi subjek dalam kalimat pasif. Jika terdapat objek dan pelengkap dalam kalimat aktif, objeklah yang menjadi subjek kalimat pasif, bukan pelengkap. Berikut ciri-ciri pelengkap.

¨ Di Belakang Predikat

Ciri ini sama dengan objek. Perbedaannya, objek langsung di belakang predikat, sedangkan pelengkap masih dapat disisipi unsur lain, yaitu objek. Contohnya terdapat pada kalimat berikut.

a) Diah mengirimi saya buku baru.

b) Mereka membelikan ayahnya sepeda baru.

Unsur kalimat buku baru, sepeda baru di atas berfungsi sebagai pelengkap dan tidak mendahului predikat.

¨ Tidak Didahului Preposisi

Seperti objek, pelengkap tidak didahului preposisi. Unsur kalimat yang didahului preposisi disebut keterangan. Ciri-ciri unsur keterangan dijelaskan setelah bagian ini.

Ciri-Ciri Keterangan

Keterangan merupakan unsur kalimat yang memberikan informasi lebih lanjut tentang suatu yang dinyatakan dalam kalimat; misalnya, memberi informasi tentang tempat, waktu, cara, sebab, dan tujuan. Keterangan ini dapat berupa kata, frasa, atau anak kalimat. Keterangan yang berupa frasa ditandai oleh preposisi, seperti di, ke, dari, dalam, pada, kepada, terhadap, tentang, oleh, dan untuk. Keterangan yang berupa anak kalimat ditandai dengan kata penghubung, seperti ketika, karena, meskipun, supaya, jika, dan sehingga. Berikut ini beberapa ciri unsur keterangan.

¨ Bukan Unsur Utama

Berbeda dari subjek, predikat, objek, dan pelengkap, keterangan merupakan unsur tambahan yang kehadirannya dalam struktur dasar kebanyakan tidak bersifat wajib.

¨ Tidak Terikat Posisi

Di dalam kalimat, keterangan merupakan unsur kalimat yang memiliki kebebasan tempat. Keterangan dapat menempati posisi di awal atau akhir kalimat, atau di antara subjek dan predikat.

¨ Jenis Keterangan

Keterangan dibedakan berdasarkan perannya di dalam kalimat.

1. Keterangan Waktu

Keterangan waktu dapat berupa kata, frasa, atau anak kalimat. Keterangan yang berupa kata adalah kata-kata yang menyatakan waktu, seperti kemarin, besok, sekarang, kini, lusa, siang, dan malam. Keterangan waktu yang berupa frasa merupakan untaian kata yang menyatakan waktu, seperti kemarin pagi, hari Senin, 7 Mei, dan minggu depan. Keterangan waktu yang berupa anak kalimat ditandai oleh konjungtor yang menyatakan waktu, seperti setelah, sesudah, sebelum, saat, sesaat, sewaktu, dan ketika.

2. Keterangan Tempat

Keterangan tempat berupa frasa yang menyatakan tempat yang ditandai oleh preposisi, seperti di, pada, dan dalam.

3. Keterangan Cara

Keterangan cara dapat berupa kata ulang, frasa, atau anak kalimat yang menyatakan cara. Keterangan cara yang berupa kata ulang merupakan perulangan adjektiva. Keterangan cara yang berupa frasa ditandai oleh kata dengan atau secara. Terakhir, keterangan cara yang berupa anak kalimat ditandai oleh kata dengan dan dalam.

4. Keterangan Sebab

Keterangan sebab berupa frasa atau anak kalimat. Keterangan sebab yang berupa frasa ditandai oleh kata karena atau lantaran yang diikuti oleh nomina atau frasa nomina. Keterangan sebab yang berupa anak kalimat ditandai oleh konjungtor karena atau lantaran.

5. Keterangan Tujuan

Keterangan ini berupa frasa atau anak kalimat. Keterangan tujuan yang berupa frasa ditandai oleh kata untuk atau demi, sedangkan keterangan tujuan yang berupa anak kalimat ditandai oleh konjungtor supaya, agar, atau untuk.

6. Keterangan Aposisi

Keterangan aposisi memberi penjelasan nomina, misalnya, subjek atau objek. Jika ditulis, keterangan ini diapit tanda koma, tanda pisah (--), atau tanda kurang.

Perhatikan contoh berikut.

¨ Dosen saya, Bu Erwin, terpilih sebagai dosen teladan.

7. Keterangan Tambahan

Keterangan tambahan memberi penjelasan nomina (subjek ataupun objek), tetapi berbeda dari keterangan aposisi. Keterangan aposisi dapat menggantikan unsur yang diterangkan, sedangkan keterangan tambahan tidak dapat menggantikan unsur yang diterangkan. Seperti contoh berikut.

¨ Siswanto, mahasiswa tingkat lima, mendapat beasiswa.

Keterangan tambahan (tercetak miring) itu tidak dapat menggantikan unsur yang diterangkan yaitu kata Siswanto.

8. Keterangan Pewatas

Keterangan pewatas memberikan pembatas nomina, misalnya, subjek, predikat, objek, keterangan, atau pelengkap. Jika keterangan tambahan dapat ditiadakan, keterangan pewatas tidak dapat ditiadakan. Contohnya sebagai berikut.

¨ Mahasiswa yang mempunyai IP tiga lebih mendapat beasiswa.

Contoh diatas menjelaskan bahwa bukan semua mahasiswa yang mendapat beasiswa, melainkan hanya mahasiswa yang mempunyai IP tiga lebih.

Sikap dan Kesadaran Berbahasa Indonesia


Kita memiliki politik bahasa nasional -kekuatan politis (political will) untuk menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Pada sisi lain, justru banyak penyimpangan dari kekuatan pedoman itu sehingga timbul pertanyaan apakah berlaku hukum ”di situ ada aturan, di situ pula ada pelanggaran”. Penelusuran dua variabel ini memungkinkan kita untuk dapat mengantisipasi sikap kita terhadap kasus-kasus seperti itu secara proporsional. Lebih-lebih sebagai cendekiawan, kita memiliki peran strategis untuk menegakkan kebenaran politis dalam menjunjung martabat bahasa Indonesia, sekaligus mengangkat jatidiri bangsa.

Politik bahasa nasional memberikan bobot kekuatan terhadap bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa daerah atau bahasa asing. Salah satu fungsi politik bahasa nasional adalah memberikan dasar dan arah bagi perencanaan dan pengembangan bahasa nasional sehingga dapat memberikan jawaban tentang fungsi dan kedudukan bahasa (nasional) dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain. Alih-alih kita tahu bahwa Sumpah Pemuda 1928 tidak hanya mengakui, tetapi juga menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dengan demikian, mendudukkan bahasa Indonesia dalam status yang tinggi tidaklah berlebihan, malah sudah sepantasnya.

Kita ketahui bahwa bahasa Indonesia memiliki posisi penting dalam hubungannya dengan bahasa lain. Kita dituntut untuk memiliki perencanaan matang dan terarah dalam menghadapi perubahan dan perkembangan kebudayaan. Itulah yang dinamakan kemantapan dinamis. Pada pihak lain, banyak di antara kita yang kurang atau bahkan tidak memperhatikan posisi bahasa Indonesia. Dengan berbagai alasan, mereka banyak menyelipkan kata -bahkan kalimat- berbahasa asing, baik secara lisan maupun secara tertulis tanpa memperhatikan kemampuan berbahasa orang yang dituju atau juga kemampuan dirinya sendiri. Jangan jauh-jauh, kita lihat saja orang-orang di sekitar kita, di kampus. Banyak dosen (padahal dia tidak fasih berbahasa asing) menggunakan kata atau istilah asing sehingga mahasiswa harus berpikir dua kali atau bahkan lebih. Si dosen tidak sadar bahwa bahasa Indonesia merupakan sarana pencerdas bangsa. Ada pula anggota DPR RI kala diwawancara mengatakan, “Kami akan mensaport sepenuhnya“. Disangkanya semua fonem [u] dalam bahasa Inggris diucapkan menjadi [a] sehingga support ‘dukungan’ diucapkan saport. Kalau mau, kata itu diserap menjadi supor dan bentuk kata kerjanya menyupor. Ada juga seorang profesor mengatakan tes kis untuk test case. Tentu saja artinya jauh: test kiss dan test case. Contoh lain, kita berjalan-jalan ke toko di seantero Nusantara. Banyak di antara mereka menggunakan kata berbahasa asing (baca: Inggris!) misalnya cut price sehingga orang bisa menyangka bahwa itu nama orang Aceh seperti halnya Cut Nyak Dhien. Atau juga ada soft opening yang disangka semacam sop buntut dan ada escargot dibaca [ès kaar g] yang disangka semacam es teler atau es campur.

Alasan mereka berkisar pada hal-hal yang sebenarnya tidak tepat dijadikan alasan. Misalnya, bahasa Indonesia kaku, di dalam bahasa Indonesia kata asing itu tidak ada, atau bahasa Indonesia tidak menarik minat calon pembeli. Singkatnya, bahasa Indonesia tidak bergengsi tinggi. Karena itu, di klinik atau di puskesmas pun terbentang kain rentang bertuliskan “Medical General Check Up Paket Hemat” bukan “Paket hemat periksa kesehatan menyeluruh”. Sebabnya tiada lain yang cek-ap orang kaya, sedangkan yang periksa orang miskin.

Jika kita telusuri, yang kaku bukan bahasa Indonesia, melainkan kita sebagai pemakainya. Bahasa Indonesia memiliki imbuhan untuk pengaya kata. Jadi, jika belum ada kata yang tepat, kita cari dalam kamus, kita ikuti prosedur pembentukan kata atau istilah baru. Jika bahasa Indonesia kurang bergengsi, kitalah yang bertanggung jawab menaikkan gengsinya karena kita pemilik sekaligus pemakainya.

Sebenarnya, kalau kita sadari, banyak dukungan politis bagi pengindonesiaan kata dan istilah asing, antara lain, sebagai berikut:

1. Sumpah Pemuda 1928;

2. UUD 1945, Bab XV Pasal 36 tentang bahasa negara;

3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 1972 tentang penggunaan Ejaan yang Disempurnakan;

4. Instruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 20 tanggal 28 Oktober 1991 tentang pemasyarakatan bahasa Indonesia dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa;

5. Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 1/U/1992 tanggal 10 April 1992 tentang peningkatan usaha pemasyarakatan bahasa Indonesia dalam memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa; dan

6. Surat Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia kepada Gubernur, Walikota, dan Bupati Nomor 434/1021/SJ tanggal 16 Maret 1995 tentang penertiban penggunaan istilah asing.

Sayangnya, keenam butir tersebut hanya dilirik dan ditaati selama empat tahun. Setelah pergantian menteri, keenam butir itu tidak diperhatikan lagi, baik oleh perseorangan, lembaga swasta, maupun lembaga pemerintah. Contoh kecil, hampir di pelbagai perguruan tinggi di seluruh Nusantara ada gedung yang dinamakan Student Centre atau Student Center. Mengapa tidak memakai Gedung Mahasiswa atau Pusat Mahasiswa atau yang lainnya karena penghuninya masyarakat bahasa Indonesia? Mengapa pula di jalan yang banyak dilalui angkutan kota terdapat rambu yang bertuliskan Slow Down? Apakah semua sopir atau tukang ojeg mengerti bahasa Inggris? Contoh lain, di pertokoan sangat marak pemakaian kata-kata asing, padahal pengunjungnya sangat sedikit yang mengerti bahasa asing secara baik.

Pemakaian kata atau istilah asing tampaknya dipandang sebagai peningkat gengsi sosial. Padahal, kalau kita sadari bersama secara kompak, bahasa Indonesia pun bisa dipakai untuk menaikkan gengsi sosial. Misalnya, ketika kita masuk ke sebuah pusat perbelanjaan yang megah dan di sana kita lihat label-label barang dan nama-nama sudut toko memakai bahasa Indonesia, secara psikologis gengsi kita tetap sebagai orang “kotaan”, orang “modern”. Yang menurunkan atau menaikkan gengsi sosial kita dalam hal ini mungkin saja pakaian dan cara kita berpakaian atau juga perilaku kita secara menyeluruh.

Perkembangan Bahasa Indonesia


Bila dibandingkan dengan bahasa Inggris, Perancis, Arab, Belanda, Mandarin, Jepang atau bahasa asing lainnya, atau juga bahasa daerah, bahasa Indonesia relatif masih muda. Ia baru lahir pada akhir tahun 1928, yaitu melalui Sumpah Pemuda. Namun, perkembangannya begitu pesat. Hingga tahun 1988 -berarti enam puluh tahun- bahasa Indonesia sudah memiliki lebih dari 60.000 kata. Kamus bahasa Indonesia yang diterbitkan tahun 2008 telah mencapai 90.000 kata. Kemajuan yang benar-benar pesat.

Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap kosakata dari berbagai bahasa, baik bahasa daerah maupun bahasa asing. Banyak kosakata daerah, terutama Jawa dan Sunda, masuk ke dalam bahasa Indonesia. Bahasa asing yang banyak diserap pada awalnya adalah bahasa Arab, lalu bahasa Belanda, dan kini bahasa Inggris.

Hingga 1972 bahasa Indonesia dalam hal menyerap lebih berorientasi pada bahasa Belanda. Karena itu, banyak kosakata yang berasal dari bahasa Belanda, misalnya, tradisionil, formil, sistim. Namun, sejak 1972 -bersamaan dengan lahirnya Ejaan yang Disempurnakan (EYD)- bahasa Indonesia dalam hal menyerap kosakata asing lebih berorientasi pada bahasa Inggris. Karena itu, kosakata yang berasal dari bahasa Belanda seperti ketiga contoh taklagi dianggap baku. Kosakata yang dianggap baku untuk ketiga kata tersebut adalah tradisional, formal, dan sistem.

Pada akhir tahun 1990-an -ketika yang memimpin Indonesia adalah Abdurrahman Wahid- perkembangan kosakata bahasa Indonesia memper-lihatkan gejala lain. Pada waktu itu muncul lagi kosakata yang berasal dari bahasa Arab yang sebelumnya hanya digunakan di lingkungan pesantren. Contohnya adalah kata-kata istigosah, akhwat, ikhwan.

Perkembangan tidak hanya terjadi pada bidang kosakata, tetapi juga pada bidang lain seperti istilah atau ungkapan dan peribahasa. Hal tersebut bisa kita temukan dengan membaca Siti Nurbaya karya Marah Roesli dan Saman karya Ayu Utami, misalnya. Contoh lain dapat kita temukan dengan membaca koran tahun 1980-an dan koran tahun 2000-an. Tahun 1980-90an muncul ungkapan menurut petunjuk, demi pembangunan, dan sebagainya. Tahun 2000-an lebih sering muncul kata-kata reformasi, keos (chaos), dan sebagainya.

Perkembangan bahasa Indonesia tidak hanya terjadi pada ragam resmi. Dalam ragam takresmi pun terjadi perkembangan. Bahkan, perkembangan dalam ragam takresmi lebih pesat, namun juga lebih cepat menghilang. Misalnya, pada tahun 1980-an muncul kata asoy yang berarti ‘asyik’; tahun 1990-an muncul kata ni ye yang bertugas sebagai penegas kalimat; tahun 2003-an muncul kata lagi yang bertugas baru sebagai penegas seperti pada ungkapan PD (percaya diri) lagi atau abis lagi. Padahal arti lagi yang sebenarnya adalah ‘kembali’ atau ’sedang’. Tahun 2004 muncul gitu lo atau getho lho, dan semacamnya, tahun 2009 sudah muncul yang lain lagi.

Bidang makna pun mengalami perkembangan. Ada lima penyebab perkembangan makna, yaitu (1) peristiwa ketatabahasaan, (2) perubahan waktu, (3) perbedaan bahasa daerah, (4) perbedaan bidang khusus, (5) perubahan konotasi.

1) peristiwa ketatabahasaan

Sebuah kata, misalnya tangan, memiliki makna berbeda karena konteks kalimat berbeda.

- Agus pulang dengan tangan hampa.

- Dadang memiliki banyak tangan kanan.

- Tangan Didi sakit karena jatuh.

2) perubahan waktu

makna dahulu

makna sekarang

bapak : orang tua laki-laki, ayah

sebutan terhadap semua orang laki-laki yang umurnya lebih tua atau kedudukannya lebih tinggi

canggih: cerewet, bawel

pintar dan rumit, modern

saudara : orang yang lahir dari ibu dan bapak yang sama

sapaan bagi orang yang sama derajatnya, orang yang dianggap lahir dari lingkungan yang sama seperti sebangsa, seagama, sedaerah

3) perbedaan bahasa daerah

Kata atos dalam bahasa Sunda berarti ’sudah’, sedangkan dalam bahasa Jawa berarti ‘keras’. Kata bujur dalam bahasa Sunda berarti ‘pantat’, sedangkan dalam bahasa Batak berarti ‘terima kasih’, dan dalam bahasa Indonesia berarti ‘panjang’.

4) perbedaan bidang khusus

Dalam bidang kedokteran kata koma berarti ’sekarat’, sedangkan dalam bidang bahasa berarti ’salah satu tanda baca untuk jeda’. Kata operasi dalam bidang kedokteran berarti ‘bedah, bedel’, dalam bidang kemiliteran atau yang lain berarti ‘tindakan’, dan dalam bidang pendidikan berarti ‘pelaksanaan rencana proses belajar mengajar yang telah dikembangkan secara rinci’.

5) perubahan konotasi

Kata penyesuaian berarti ‘penyamaan’, tetapi agar orang lain tidak terkejut atau marah, kata itu dipakai untuk makna ‘penaikan’. Misalnya penaikan harga menjadi penyesuaian harga.

Perkembangan lain dalam bahasa Indonesia adalah pergantian ejaan. Sejak 1972 bahasa Indonesia memakai sistem ejaan yang dinamakan Ejaan yang Disempurnakan (EYD), yang dalam kenyataannya sampai sekarang belum diperhatikan penuh oleh masyarakat pemakainya. Karena itu, kesalahan pemakaian masih banyak terjadi. Misalnya, banyak orang masih kesulitan membedakan pemakaian huruf kecil dan huruf kapital; pemakaian singkatan nama diri, nama gelar, dan nama lembaga. Padahal, jika diperhatikan, pemakaian ejaan dapat juga membedakan makna.

Perhatikan contoh kedua kalimat matematis ini! Perbedaan ada pada pemakaian tanda baca koma.

Diketahui A = 4, berapa nilai B, C, D, dan E pada kedua pernyataan berikut?

1) A = B, C, D, dan E.

2) A = B, C, D dan E.

Contoh lain tentang pemakaian huruf kapital dan huruf kecil:

- Kemarin ibu pergi dengan Ibu Neneng.

- Orang Sumedang makan tahu sumedang.

Kesalahan lain yang sering dijumpai adalah pelafalan yang taksesuai dengan kaidah ejaan. Menurut EYD, setiap kata dilafalkan sesuai dengan hurufnya, kecuali untuk nama diri. Untuk nama diri, penulisan dan pengucapan merupakan hak otonomi pribadi. Misalnya, Deassy, Dessy, Desy, Desie, Desi, Deasie; Yenny, Yeny, Yenni, Yennie, Yenie, atau Yeni. Namun, masih banyak di antara kita yang “buta huruf” sehingga takdapat membedakan huruf c dan huruf k, dan huruf s; atau huruf t dengan huruf c, dalam beberapa kata yang berbeda. Karena kurang perhatian pada hal-hal sepele itu, banyak orang melafalkan secara taktepat kata-kata panitia, unit, pasca, aksesoris, lab (akronim dari laboratorium yang diucapkan salah: leb) dan sebagainya.

Variasi Pemakaian Bahasa


Variasi pemakaian bahasa Indonesia pun merupakan landasan pemikiran diadakannya mata kuliah bahasa Indonesia sampai di perguruan tinggi. Kita dapat mengetahui perbedaan pemakaian bahasa Indonesia tatkala kita membaca koran nasional dan koran daerah, misalnya. Perbedaan itu dapat juga dibuktikan ketika kita pergi ke daerah lain, baik pilihan kata maupun intonasi, atau bahkan kalimatnya. Begitu pula ketika pergi ke pasar lalu ke kantor atau ke kampus, kita akan segera tahu adanya perbedaan pemakaian bahasa Indonesia. Contoh yang paling mudah untuk melihat perbedaan pemakaian ini adalah bahasa dalam SMS atau ceting (chatting) dan dalam makalah. Bahasa SMS takketat, bahkan bisa dan boleh semau kita, sedangkan bahasa makalah penuh dengan aturan yang harus kita taati.

Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara

Bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa negara memiliki empat fungsi yang saling mengisi dengan ketiga fungsi bahasa nasional. Keempat fungsi bahasa negara adalah sebagai berikut: (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan, (3) alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, dan (4) alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Dalam fungsi pertama bahasa Indonesia wajib digunakan di dalam upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik lisan maupun tulisan. Begitu juga dalam penulisan dokumen dan putusan serta surat-surat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan badan-badan kenegaraan. Hal tersebut berlaku juga bagi pidato kenegaraan.
Fungsi kedua mengharuskan lembaga-lembaga pendidikan menggunakan pengantar bahasa Indonesia. Lembaga pendidikan mulai taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi mau takmau dalam pelajaran atau mata kuliah apa pun pengantarnya adalah bahasa Indonesia. Namun, ada perkecualian. Bahasa daerah boleh (tidak harus) digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar sampai tahun ketiga.
Fungsi ketiga mengajak kita menggunakan bahasa Indonesia untuk membantu kelancaran pelaksanaan pembangunan dalam berbagai bidang. Dalam hal ini kita berusaha menjelaskan sesuatu, baik secara lisan maupun tertulis, dengan bahasa Indonesia agar orang yang kita tuju dapat dengan mudah memahami dan melaksanakan kegiatan pembangunan.
Fungsi keempat mengingatkan kita yang berkecimpung dalam dunia ilmu. Tentu segala ilmu yang telah kita miliki akan makin berguna bagi orang lain jika kita sebarkan kepada saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air di seluruh pelosok Nusantara, atau bahkan jika memungkinkan kepada saudara kita di seluruh dunia. Penyebaran ilmu tersebut akan lebih efektif dan efisien jika menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa daerah atau bahasa asing.